
Klarifikasi Pembuat Film Animasi “Merah Putih: One For All” soal Biaya Produksi Rp 6,7 M
Klarifikasi Pembuat Film Merah Putih: One For All – Film animasi Merah Putih: One For All menjadi sorotan publik jelang penayangan pada 14 Agustus 2025. Kontroversi muncul setelah beredar klaim bahwa biaya produksi film tersebut mencapai Rp 6,7 miliar. Isu ini memicu pertanyaan serius tentang transparansi dana, kualitas visual, dan peran pemerintah. Para produser dan pengurus industri memberi klarifikasi yang cukup meyakinkan—mengungkap bahwa anggaran besar itu bukan hal nyata.
1. Tuduhan Dana Rp 6,7 Miliar dan Bantahan dari Produser
Media seperti IDN Times menyebut film ini “diketahui memakan budget produksi hingga Rp 6,7 miliar” berdasarkan klaim dalam unggahan kolaboratif terkait film tersebut. Namun, produser sekaligus sutradara eksekutif Yuli Endiarto mengklarifikasi bahwa tidak ada dana seperti itu.
“Dana yang (tersebar) di online itu… itu gak benar. Karena kami ini sifatnya mandiri, bergotong royong, jadi tidak ada dana. Semua yang terlibat ini hanya memberikan sumbangsih, kontribusi…”
Endiarto menegaskan bahwa nilai Rp 6,7 miliar bukan hanya tidak benar, tetapi juga “tidak nyata”, mengingat film diproduksi melalui semangat kolaborasi dan kontribusi non-finansial.
2. Ajakan Gotong Royong, Bukan Urunan Dana
Tim produksi menekankan bahwa asumsi “urunan” bukan berarti uang. Sebaliknya, mereka menyumbangkan:
- Waktu
- Tenaga
- Pemikiran
Ini disampaikan Endiarto:
“Urunan juga bukan berarti urunan duit, tapi urunan tenaga, pikiran, dan waktu.”
Produser Toto Soegriwo bahkan dengan santai menanggapi kritik:
“Senyumin aja. Komentator lebih pandai dari pemain. Banyak yang ambil manfaat… Postingan kalian jadi viral.”
3. Tidak Ada Bantuan Dana dari Pemerintah
Spekulasi soal dukungan finansial dari pemerintah turut mencuat. Namun, Wakil Menteri Ekonomi Kreatif, Irene Umar, secara tegas membantah adanya dana atau fasilitas promosi yang diberikan untuk film ini.
“Kami tidak memberikan bantuan finansial dan tidak memberikan fasilitas promosi.”
Peran Kemenparekraf hanyalah memberi masukan teknis, seperti pada cerita, tampilan karakter, trailer, dan aspek visual lainnya—sesuai praktik saat menerima audensi para pelaku industri kreatif.
4. Produksi Kilat dan Penggunaan Aset Siap Pakai
Film ini digarap sangat cepat—dalam tempo kurang dari satu bulan—dan itu menimbulkan pertanyaan atas kualitas hasil akhir. Kritikus menunjukkan bahwa visual animasinya terkesan kaku dan minim detail.
Konten kreator Yono Jambul mengungkap penggunaan aset digital siap pakai—seperti latar jalanan dari Daz3D atau aset karakter dari Reallusion dengan harga ratusan ribu rupiah—yang dinilai tidak mencerminkan kekayaan budaya lokal.
5. Perbandingan dengan Film Animasi Lain
Netizen membandingkan biaya sebesar Rp 6,7 miliar dengan produksi anime seperti Demon Slayer, yang “hanya” habis sekitar Rp 1,8 miliar per episode namun punya kualitas tinggi—persoalan ini menambah kritik terhadap film ini. Film Indonesia Jumbo bahkan mencapai anggaran hingga Rp 48,8 miliar, namun digarap dengan durasi lima tahun dan melibatkan ratusan kreator lokal.
Baca Juga : Andre Taulany Cerai, Anak Sebut Hanya Karena Kurang Komunikasi saja
6. Ringkasan Klarifikasi
Isu | Klarifikasi Produser | Klarifikasi Pemerintah |
---|---|---|
Biaya Rp 6,7 miliar | Dibantah—film diproduksi secara gotong royong, tanpa dana besar | — |
Pembiayaan dari pemerintah | Dipastikan tidak ada dana atau fasilitas promosi | Irene Umar: Tidak ada bantuan finansial atau promosi |
Produksi cepat (kurang dari sebulan) | Diakui, dilakukan demi momentum HUT RI ke-80 | — |
Penggunaan aset siap pakai | Wajar sebagai strategi praktis & efisien | — |
Kesimpulan
Film animasi Merah Putih: One For All menjadi kontroversial karena kabar biaya produksi Rp 6,7 miliar dan kualitas visual yang dinilai kurang memuaskan. Namun, tim produksi telah memberi klarifikasi: film digarap secara gotong royong tanpa dana besar, dan peran pemerintah sebatas memberi saran teknis, bukan finansial. Meskipun demikian, kritik terhadap kualitas dan pendekatan produksi tetap berada di permukaan, menjadi catatan penting bagi industri animasi nasional demi pembelajaran ke depan.